Jangan lupa untuk mengunjungi Blog Utama Kami di ahimzafatih.com

Senin, 06 September 2010

Kaidah Memahami Riba


Sebelum membahas tentang kaidah-kaidah dalam riba, kita perlu memahami terlebih dahulu sebuah masalah penting, yakni apa sebenarnya yang dimaksud barang-barang ribawi itu?
Kita katakan, bahwasanya sebagian dari barang-barang ribawi telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain telah ditambahkan oleh para ulama’ karena kesamaan ilat/sebab dengan barang-barang riba yang nabi sebutkan, seperti Emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam dan anggur.
Dalam hadits Ma’mar dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi bersabda, “Makanan ditukar dengan makanan harus sama.” Apakah barang-barang ribawiyah itu hanya terdiri dari nama-nama yang nabi sebutkan atau setiap barang yang memiliki sifat seperti barang yang nabi sebutkan?

Pendapat pertama: Kaum Dzahiriyah mengatakan bahwasanya barang ribawiyah itu hanya nama-nama yang Nabi sudah sebutkan saja. Adapun selainnya maka tidak termasuk barang ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu Uqail dari madzhab Hambali.
Pendapat kedua: Bahwasanya barang-barang ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh nabi saja, namun juga tercakup setiap barang yang memiliki kesamaan sifat dengan barang-barang yang disebutkan nabi itu. Dari pendapat ini, para ulama kemudian berbeda pendapat tentang ilat (sebab/alasan) barang-barang yang disebutkan nabi sehingga disebut sebagai barang-barang ribawi. Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya bahwa nabi menyebutkan barang-barang ribawiyah berupa emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam.
Perbedaan pendapat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
- Pendapat pertama: Bahwa ilat dari emas dan perak adalah ukuran timbangan. Adapun barang-barang selainnya yang empat (yang tersebut dalam nash) adalah ukuran takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Atas dasar pendapat inilah maka hukum riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat ditimbang-baik itu makanan atau selainnya- dan setiap barang-barang yang dapat di takar- baik itu makanan atau selainnya-. Atas dasar pendapat ini pula hukum riba berlaku untuk besi. Barangsiapa yang menukar besi dengan besi haruslah seukuran dan tunai, karena memiliki jenis yang sama (nanti akan dijelaskan dalam kaidah bahwa apabila barang yang ditukar itu adalah barang yang sejenis, maka haruslah seukuran dan tunai). Menurut pendapat ini maka hukum riba berlaku pada emas, besi, tembaga, kuningan, timah dll. Begitu pula berlaku pada barang-barang lain yang dapat ditimbang seperti kain, sutera, wol, kapas dan semua barang yang dapat ditimbang. Begitu pula hukum ini berlaku untuk barang-barang yang dapat ditakar seperti gandum halus, gandum kasar, kurma, beras dan semua benda cair, seperti minyak dan susu.Inilah pendapat pertama yaitu timbangan dan takaran. Dengan ilat ini berlakulah hukum riba untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau selainnya.
- Pendapat kedua: Imam Syafii rahimahullah berpendapat bahwa ilat (alasan) dari emas dan perak adalah karena keduanya merupakan standard harga untuk barang-barang lainnya (alat tukar). Adapun ke empat barang yang lainnya, maka ilatnya adalah jenis makanan.
Atas dasar pendapat ini maka hukum riba berlaku untuk:
  • Emas dan perak saja. Adapun timah, besi, tembaga dsb, tidak berlaku hukum ribawi.
  • Jenis makanan. Maka setiap makanan termasuk barang ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.
- Pendapat ke tiga: Imam Malik berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar. Adapun empat barang lainnya maka ilatnya karena barang-barang tersebut merupakan makanan pokok dan makanan simpanan. Yaitu makanan sehari-hari dan makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam waktu lama. Begitu pula gandum, syair, jagung dan jewawut.
- Pendapat keempat: Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar yaitu barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran bagi barang selainnya. Adapun empat barang lainnya ilatnya adalah makanan yang biasa ditakar atau ditimbang.
Sebagai contoh:
1. Pertukaran antara satu Apel dengan dua Apel. Apakah berlaku hukum riba?
Menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali: Tidak berlaku hukum riba. Karena keduanya bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran atau timbangan, namun dengan jumlah atau bilangan. Menurut Madzhab Syafii: Berlaku hukum riba, karena apel adalah makanan. Menurut Madzhab Imam Malik: Tidak berlaku hukum riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun makanan pokok yang biasa disimpan.
2. Satu sho’ gandum halus ditukar dengan dua sho’ gandum halus. Apakah berlaku hukum riba?
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku hukum riba, karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran. Menurut madzhab Syafii: Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.Menurut madzhab Maliki: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang biasa disimpan. Menurut Syaikhul Islam: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan yang biasa diukur dengan takaran.

3. Satu kilogram besi ditukar dengan dua kilogram besi.
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku karena besi termasuk barang yang biasa diukur dengan timbangan. Menurut madzhab Syafii: tidak berlaku, karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan pokok yang disimpan. Menurut syaikhul Islam: tidak belaku, karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang ditakar atau ditimbang.
4. Satu pena ditukar dengan dua pena
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali: Tidak berlaku. Karena bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran maupun timbangan akan tetapi bilangan. Menurut Madzhab Syafii: Tidak berlaku. Karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan. ilat yang digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar. Menurut Syaikul Islam: Tidak berlaku. Karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar.
Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam adalah:
  • Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
  • Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.
Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba:
KAIDAH PERTAMA
أن كل ربويين اتحدا في الجنس والعلة ( علة ربا الفضل ) ، فإنه يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرطان : التماثل ، والحلول والتقابض
Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat; yaitu sama banyaknya dan tunai.
Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat: Sama banyak dan tunai.
Contoh:
  • 10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima barang ditempat transaksi). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi barangnya tidak ada di tempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti perkataan, “Kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil barangnya.” Terkadang juga ada yang penyerahanya ditunda atau tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan barang langsung diambil.
  • Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
  • Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat di atas.
KAIDAH KEDUA

كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، فيشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرط واحد ، وهو : الحلول والتقابض
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan harus tunai atau langsung diserah terimakan.
Contoh:
  • Riyal ditukar dengan Pounds. ilatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan jumlah maka ini bukan syarat.
  • Daging onta dengan daging kambing. ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena nabi bersabda, “Apabila jenis barang berbeda, maka juallah sekehendak kalian asalkan tunai.”
  • Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.
KAIDAH KETIGA
كل ربويين اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، وكان أحدهما نقداً ، فإنه لا يشترط شيء
Setiap barang ribawi yang ilatnya sama akan tetapi jenis barangnya berbeda dan salah satunya adalah emas atau perak maka tidak ada syarat apapun jika hendak ditukarkan.
Kaidah ini berlaku menurut madzhab Abu Hanifah dan Ahmad. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pendapat madzhab ini marjuh (lemah).
Contoh:
  • Perak ditukar dengan tembaga. ilat dari keduanya adalah timbangan. Perak dn tembaga keduanya lazim diukur dengan timbangan. Maka seperti ini boleh dijual dengan sekehendak hati, dan tidak disyaratkan harus tunai. Juga tidak disyaratkan harus sama ukurannya. Seandainya kita menjual 2 kg tembaga dengan 1 kg perak dengan tempo tertentu maka ini diperbolehkan.
  • Emas dengan besi. Madzhab ini mengatakan bahwa ilatnya adalah timbangan. Oleh kerenanya tidak mengapa kita menjualnya sesuai dengan keinginan kita.
KAIDAH KEEMPAT
عن مبادلة نقد بنقد ، أو أوراق نقدية بأوراق نقدية ، أو عملات معدنية بأخرى ، فإذا اتحد الجنس ، فإنه يشترط شرطان : 1- التماثل والتساوي . 2- الحلول والتقابض .وأما إذا اختلف الجنس ، فإنه يشترط شرط واحد فقط ، وهو الحلول والتقابض
Tukar menukar An-Naqd (mata uang logam) atau antara uang kertas dengan uang kertas (atau barang logam dengan yang lainnya), jika sama jenisnya maka harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) sama ukurannya dan (2) serah terima secara tunai. Adapun apabila berbeda jenisnya maka syaratnya hanya satu, yaitu serah terima secara tunai.
  • Contoh barang yang sejenis: Riyal saudi ditukar dengan riyal saudi. Contoh an Naqd dengan an Naqd ( para ulama apabila menyebutkan an Naqd maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak ). Emas dengan emas.
  • Contoh yang berbeda jenis: Emas dengan perak. Maka dipersyaratkan harus tunai. Contoh lainnya adalah jika kita menjual emas dan uang lembaran. Keduanya berbeda jenis dengan ilat yang sama yaitu alat tukar. Maka disyaratkan harus tunai. Atau jika kita menjual perak dengan uang lembaran maka syaratnya adalah tunai.
KAIDAH KELIMA
كل ربويين اختلفا في العلة ، فلا يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر لا الحلول والتقابض ، ولا التساوي والتماثل
Setiap barang ribawi yang berbeda ilatnya, maka tidak disyaratkan tunai, juga tidak disyaratkan sama ukurannya.
Jika kita menukar barang ribawi satu dengan yang lainnya padahal ilatnya berbeda maka tidak ada syarat apapun yang harus dipenuhi.
  • Riyal dengan kurma. Ilat dari riyal adalah alat tukar. Adapun kurma maka ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk saling menukarnya.
  • Gandum halus dengan emas. Gandum halus ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan takaran. Adapun emas ilatnya adalah alat tukar.
  • Sya’ir (Gandum kasar) dengan perak. Maka tidak ada syarat untuk keduanya.
KAIDAH KEENAM
عند مبادلة ربوي بغير ربوي ، أو مبادلة عوضين غير ربويين ، فإنه لا يشترط الحلول والتقابض ولا التساوي والتماثل
Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
Dalam kaidah ini ada 2 bentuk transaksi.
1. Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya.
Contoh:
  • Emas dengan pakaian.
  • Emas dengan buah jeruk,
  • Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.
2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua barang tsb.
Contoh:
  • Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
  • Mobil dengan buku,
  • Pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
KAIDAH KETUJUH
لا أثر لاختلاف النوع أو الجودة والرداءة عند اتحاد الجنس الربوي ، ففي هذه الحال يشترط التساوي والتماثل ، وكذلك الحلول والتقابض
Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis. Yang dipersyaratkan adalah persamaan ukuran dan harus tunai.
Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan kualitas.
Contoh: Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya. Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah berpengaruh.
Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.
Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Iapun datang dengan membawa kurma janiiib (kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para sahabat menjawab, “Tidak wahai Rasulullah. Kami mengambil satu sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u (kualitas buruk).” Nabi bersabda, “Jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.
Contoh:
  • Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. (al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
  • Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
  • Susu.
  • Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN
ما اشترط فيه التماثل والتساوي ، فلا بُدَّ أن يكون التساوي والتماثل بمعياره الشرعي: كيلاً في المكيلات ، ووزناً في الموزونات
Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan dengan timbangan standard jika barang timbangan.
Kapan disyaratkan harus sama ukurannya? Yakni apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya. Apabila disyaratkan harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran standard secara syar’i. Nabi bersabda, “Emas dengan Emas, seukuran dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian? karena tidak menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.
Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita akan mendapatkan perbedaan.
Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insya Allah.
Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat). Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume). Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb.
Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat timbangan seperti kg, gram, pound dll.
KAIDAH KESEMBILAN
عند مبادلة ربوي بربوي آخر، لا يُشترط المعيار الشرعي عند عدم اشتراط التساوي
Para pertukaran barang-barang ribawi, tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus sama ukuran jumlahnya.
Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i. Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa? karena beda jenis maka tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.
Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.
Contoh barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain:
  • Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
  • Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama jenisnya:
  • Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa. Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar, pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian? Karena kita tidak diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
  • Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi, maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju dengan baju.
Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan alat ukur yang standard? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya. Nabi bersabda:
مثلاً بمثل سواءً بسواء
“Misal dengan semisalnya dan sama dengan persamaannya.”
Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran yang standard.
KAIDAH KESEPULUH
ما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل المدينة مكيلاً فهو مكيل ، وما كان في عهد النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل مكة موزوناً فهو موزون إلى يوم القيامة
Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia diukur dengan takaran. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.
Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan, barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan? barang apa saja yang ukuran standardnya takaran? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini terdapat patokan-patokan sbb:
  1. Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar. Hal ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang, dsb.
  2. Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar (susu, yogurt, minyak, madu dsb.) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus diukur dengan takaran pula.
  3. Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikhul Islam, maka emas dan perak dan apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
  4. Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
  5. Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal di kalangan penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya. Seperti benda logam, emas, dan perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang berbunyi, “Takaran itu dengan takarannya penduduk madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”
Sebagian ulama berkata, “Emas dan perak diukur dengan timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh, menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena beras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur dengan ukuran standard syariat.
KAIDAH KESEBELAS
كلُّ ما حرم فيه التفاضل حرم فيه النسأ ، لا العكس
Setiap barang yang haram untuk dilebihkan haram pula untuk ditunda pembayarannya. Dan tidak berlaku sebaliknya.
Kapan barang diharamkan untuk dilebihkan? Yaitu tatkala sama jenisnya. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya.
Contoh, emas dengan emas. Haram untuk dilebihkan. Kita tidak boleh menjual 100 kg emas dengan 120 kg emas. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya. Kita tidak boleh menukar emas dan emas dengan tempo. Kaidah ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya. Terkadang haram untuk ditunda pembayarannya akan tetapi tidak diharamkan untuk dilebihkan. Seperti emas dan perak. Haram untuk menunda pembayaran, harus tunai, akan tetapi tidak haram untuk melebihkan salah satunya. Jadi boleh kita menjual 100 gr emas dengan 200 gr perak.
KAIDAH KEDUA BELAS
الزيادة في الدين مقابل الأجل ربا
Bertambahnya hutang untuk menunda pembayaran (hutang berbunga) adalah riba.
Ini adalah praktek riba jahiliyyah. Sebagai gambaran, seseorang memberi hutang kepada orang lain. Saatnya tiba waktu pembayaran, ia mengatakan, “Pilih engkau lunasi hutangnya atau engkau tambah bunganya.” Seseorang menghutangi 100 gr emas. Saatnya pembayaran tiba, ia mengatakan, “Kamu lunasi atau engkau tambahi.” Penambahan jumlah ini dikerenakan penambahan tempo pembayaran.
KAIDAH KETIGA BELAS
إذا تعذّر التساوي في الربوي من جنس واحد لسببٍ في الجنس أو لسببٍ خارج لم تصحّ المعاوضة
Apabila terdapat keadaan yang membuat tidak sempurnanya sifat sama pada salah satu jenis barang ribawi disebabkan oleh jenis atau sebab lain maka tidak sah penggantinya.
Apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi sejenis maka disyaratkan adanya persamaan atau serah terima secara kontan. Oleh karenanya apabila tidak sempurna persamaan jumlah barang disebabkan jenis barang itu sendiri atau sebab lain maka tidak sah pertukarannya.
Misalnya, tatkala kita menjual roti yang terbuat dari gandum dengan gandum. Disini terdapat cacat persamaan jumlah barang. Karena gandum diukur dengan takaran (ukuran volume) sedangkan roti tidak mungkin diukur dengan takaran. Akan datang penjelasan tentang hukum apabila barang-barang ribawi yang tidak lagi dapat diukur dengan timbangan atau takaran lantaran telah diproses menjadi produk lain. Apakah barang tersebut masih tetap termasuk barang ribawi atau telah berubah? disini terdapat perbedaan pendapat. Yang terpenting apabila kita menukar roti yang terbuat dari gandum dengan gandum, kita katakan bahwa persamaan jumlah disini tidak sempurna. Karena gandum diukur dengan takaran adapun roti tidak lazim diukur dengan takaran.
KAIDAH KEEMPAT BELAS
كل شيئين جمعهما اسم واحد من أصل الخلقة فهما جنس واحد ، فالجنس : ماله اسم خاص يشمل أنواعاً ، والنوع : هو الشامل لأشياء مختلفة بأشخاصها
Dua barang yang terbuat dari satu bahan yang sama, maka keduanya adalah sejenis. Jenis adalah sesuatu yang memiliki nama khusus, mencakup berbagai macam/tipe. Adapun yang dimaksud Tipe/Macam mencakup semua item dengan karakter yang berbeda-beda.
Kaidah ini menerangkan pengertian jenis dan macam:
  • Gandum adalah jenis yang mencakup berbagai macam yang berbeda. Gandum ada beberapa macam. Seperti khintoh, laqimi, maiyah, dsb.
  • Kurma adalah jenis yang mencakup kurma ajwah, kurma sukari, kurma barkhi dsb.
  • Daging adalah jenis yang mencakup daging onta, daging kambing, daging sapi dsb.
  • Kambing adalah jenis yang mencakup domba, kibasy dsb.
Contoh kasus: al khintoh adalah macam dari jenis gandum. Jenisnya gandum, sedangkan macam/tipenya khintoh. Apabila kita memiliki sekantong gandum al khintoh, dan sekantong lagi gandum al khintoh. Kedua kantung ini macamnya sama, namun bisa berbeda pada dzatnya atau sifatnya. Maka macam barang mencakup atas item-item yang berbeda. Apabila memliki perbedaaan tipe/maca maka ini disebut jenis barang.
Contoh lain: Kurma as sukary. Kita punya 3 kantong kurma as sukary. Tiga kantong ini dinamakan macam. Mengapa? Karena sudah terpecah menjadi item-item yang berbeda.
Telah kita bahas bahwa pertukaran barang yang sejenis tidak melihat kepada perbedaan macam. Tatkala kita hendak menukar gandum dengan gandum, kita tidak melihat perbedaan macamnya. Jika kita menukar gandum khintoh dengan gandum laqiim atau maiyah maka tetap diharuskan tunai dan dalam jumlah yang sama. Apalagi jika barangnya semacam seperti khintoh dengan khintoh.
KAIDAH KELIMABELAS
فروع الأجناس إذا بيعت بجنسها اشترط فيها التساوي في الصفة المقصودة بالعقد
Jenis barang yang bermacam-macam apabila dijual dengan jenisnya disyaratkan adanya kesamaan sifat yang dimaksudkan dalam akad.
Gandum halus jenis daqiiq apabila ditukar dengan gandum halus jenis daqiiq maka disyaratkan harus sama dalam tingkat kehalusannya. Tidak boleh menjual 1 sho’ gandum halus jenis daqiiq dengan 1 sho’ gandum halus jenis jurais – beda tingkat kehalusan-, karena tidak sama.
Tatkala kita membeli khintoh dengan khintoh atau maiyah dengan maiyah –macam gandum-, maka tidak ada pengaruh perbedaan macam selama masih dalam jenis yang sama. Atau tatkala kita membeli daging domba dengan daging kambing, maka ini tidak ada perbedaan, diharuskan sama dan tunai.
KAIDAH KEENAM BELAS
ما خرج عن القوت بالصنعة فليس بربوي ، بل هو جنس قائم بنفسه
Bahan makanan yang sudah diubah menjadi produk lain bukan lagi termasuk barang ribawi. Akan tetapi sudah menjadi jenis barang tersendiri.
Kaidah ini berdasar pada pendapat Syaikul Islam. Adapun pendapat yang mashur dari madzhab Hanbali dan Hanafi bahwa hal itu tidak bersifat mutlaq. Ada dua keadaan:
  1. Pertukarannya dengan jenis lain (meskipun bahan aslinya satu) maka ini boleh. Seperti pertukaran roti dengan bubur.
  2. Pertukarannya dengan jenis yang sama. Seperti roti dengan roti, bubur dengan bubur. Maka dalam hal ini diharuskan sama.
Yang paling penting diperhatikan dari kaidah ini adalah: Apabila barang yang lazim ditakar atau ditimbang sudah berubah lantaran diolah menjadi produk baru, apakah masih tetap termasuk barang ribawi?
Menurut Syaikhul Islam: Barang timbangan atau takaran yang berubah lantaran diolah menjadi produk baru maka sudah bukan lagi barang ribawi meskipun dijual dengan yang sejenisnya.
  • Seandainya kita tukarkan 1 sho’ gandum yang sudah diubah menjadi roti dengan 2 sho’ gandum yang masih asli, maka hal ini boleh menurut Syaikhul Islam. Karena beliau mengatakan bahwa gandum yang sudah diolah menjadi roti bukan lagi termasuk barang ribawi meskipun kita jual dengan yang sejenisnya. Setiap yang diolah maka ia sudah tidak lagi termasuk barang ribawi.
  • Contoh lagi pada barang yang ditimbang -Syaikul islam tidak memandang adanya ilat pada barang yang ditimbang, beliau tidak memandang bahwa sebab barang masuk dalam kategori ribawi itu karena barang yang ditimbang. Seperti jika kita menjual bejana dari besi dengan besi. Maka besi yang sudah diolah menjadi bejana bukan lagi masuk barang ribawi. Sehingga boleh kita menjual ketel dari besi dengan besi mentah. Sama saja apakah dengan ukuran sama atau dilebihkan, tunai atau tempo, semuanya boleh dilakukan. Syaikhul Islam berpendapat, apabila barang sudah bukan lagi barang ribawi lantaran telah diolah menjadi produk lain maka tidak lagi berlaku hukum-hukum ribawi.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbali dan Hanafi adalah barang-barang ribawi yang ditakar apabila telah diolah menjadi produk lain maka tetap dalam statusnya barang ribawi. Tidak boleh tukar-menukar gandum dengan roti juga tidak boleh roti dengan roti kecuali dengan syarat harus sama jumlahnya. Roti ditukar dengan roti sah jika sama keringnya. Adapun roti dengan gandum hal ini tidak sah menurut madzhab ini.
Dalam hal barang-barang yang ditimbang, mereka memandang bahwa barang-barang yang sudah diolah menjadi produk lain bukan lagi barang ribawi. Maka boleh menukarkan 1 ketel dari besi dengan 2 ketel. Meskipun keduanya berasal dari besi. Mereka membedakan antara barang timbangan dan barang takaran. Adapun syaikul islam memandang bahwa setelah barang ribawi itu berubah menjadi barang bukan ribawi lantaran sudah diolah menjadi produk lain-baik yang ditimbang maupun yang ditakar- maka tidak lagi berlaku hukum ribawi.
KAIDAH KETUJUH BELAS
لا أثر للصياغة المباحة عند المبادلة
Tidak berlaku ongkos tambahan pembuatan dalam tukar menukar barang.
Kaidah ini berbeda dengan pendapat Syaikul Islam. Beliau berpendapat bahwa ongkos pembuatan berpengaruh. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa biaya tambahan untuk ongkos pembuatan tidak berpengaruh dalam pertukaran. Maka tatkala kita menukar emas yang telah dibentuk dengan emas yang belum dibentuk, kemudian diberikan tambahan biaya pembuatan maka hal ini termasuk dalam riba. Hal ini didasari oleh hadits Fudholah bin Ubaid bahwa dia membeli cincin dengan dinar yang ada mutiaranya. Maka tatkala hendak dilepaskan ada biaya tambahan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan, hingga kamu melepaskannya.” Selain itu nabi juga bersabda, “Emas dengan emas yang setara. Perak dengan perak yang setara.”
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu pembuatan tidaklah berpengaruh. Ini merupakan kebalikan dari pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika kita menginginkan adanya tambahan dari ongkos pembuatan maka kita katakan bahwa ini tidak boleh dan jatuh kepada riba. Haditsnya jelas, “Emas dengan emas, perak dengan perak, yang sama dan semisal.”
KAIDAH KEDELAPAN BELAS
مبادلة الربوي بجنسه ومعهما أو مع أحدهما من غير جنسهما
Menukar barang ribawi dengan sejenisnya yang terdapat pada salah satu atau keduanya barang lain yang tidak sejenis.
Para ulama menamainya sebagai (مسألة مدّ عجوة ودرهم) masalah “ mud kurma ajwah dan dirham.” Ajwah merupakan salah satu jenis kurma madinah. Permasalahan yang dikenal dengan “mud kurma ajwah dan dirham” ini ada 2 gambaran:
  1. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya yang pada keduanya ada barang lain yang tidak sejenis.
  2. Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat barang lain yang tidak sejenis.
Contoh gambaran A:
Menukar 1 mud kurma ajwah dengan 1 mud kurma ajwah. Pada keduanya terdapat barang lain yang tidak sejenis. Yang pertama ada dirhamnya yang kedua juga ada dirhamnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak boleh. Karena ada unsur tipu muslihat pada barang ribawi yang sejenis dengan penambahan. Syaikul Islam berpendapat boleh jika jumlah mud keduanya sama dan jumlah dirhamnya juga sama.
Contoh gambaran B:
Satu mud kurma ajwah yang disertai dirham dengan 2 mud kurma ajwah. Jumhur berpendapat tidak boleh. Adapun pendapat kedua mengatakan jika mud ditukar mud dan dirhamnya sebagai pembayaran atas kelebihannya, maka ini boleh.
Tatkala kita membeli perhiasan intan dari pembuatnya. Kita memberinya perhiasan lama, kemudian kita mengambil perhiasan baru. Pembuat perhiasan meminta kita harus menambah, apakah ini boleh? atau kita memberi 20 gr perhiasan lama dan mengambil 15 gr perhiasan baru yang sudah dibentu, apakah ini boleh?
Ini masuk dalam masalah “mud kurma ajwah dan dirham”. Karena kita telah menukar barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat uang dirham yang bukan dari jenisnya, menurut jumhur ulama ini boleh. Menurut Syaikhul Islam apabila tambahannya sebagai biaya pembuatan barang maka hal ini boleh. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak boleh menukar karena hadits telah jelas menerangkan, “Emas dengan emas…” demikian pula kisah Fudholah ketika membeli cincin yang ada mutiaranya dengan dinar maka Nabi bersabda, “Jangan, sampai kamu lepaskan mutiaranya.” maka yang benar menukar barang ribawi dengan jenisnya tidak dibenarkan adanya tambahan. Harus sama antara keduanya dalam timbangan. Tidak berpengaruh ongkos pembuatan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, bahwa macam barang itu tidak berpengaruh apa-apa. Solusinya, kita jual perhiasan lama kita dan kita tahan dirhamnya, baru kemudian uangnya kita gunakan untuk membeli yang baru. Akan tetapi yang menjadi masalah, sebagian pembuat perhiasan itu mengatakan, “Aku akan membeli darimu dengan syarat kamu nanti harus membeli dariku.” Maka kita katakan, disini kita terjatuh dalam riba, yaitu emas ditukar emas dengan tambahan. Karena syaratnya adalah kita menjual kepadanya dan kitapun harus membeli darinya. Ini seolah-olah kita menukar emas dengan emas dengan harga tambahan. Imam Ahmad mengatakan, “Engkau jual barangmu dan ambil harganya. Lalu cari tempat lain. Ini dilakukan untuk menghindari syubhat riba. Jika ternyata tidak menemukan tempat lain yang bisa memenuhi kebutuhan kita maka tidak mengapa kembali ke tempat semula.”
KAIDAH KESEMBILAN BELAS
الشكّ في المماثلة كتحقّق المفاضلة
Keraguan terhadap kesamaan ukuran dihukumi seperti adanya penambahan.
Jika terjadi keraguan apakah ukuran barang sudah sama atau belum, maka dianggap adanya penambahan. Dengan demikian wajib bagi kita memastikannya dengan menggunakan ukuran standard syariat. Tidak mengetahui bahwa barang itu seukuran sama saja artinya dengan mengetahui bahwa barang itu ada kelebihan.
KAIDAH KEDUAPULUH
قبض الشيك أو السند عند صرف العملات ، هل يقوم مقام العملة ؟
Apakah cek atau giro dapat mengantikan uang dalam pembayaran?
Ini adalah permasalahan modern yang terjadi tatkala menukar barang yang mengharuskan pembayaran tunai. Contoh emas dengan riyal. Ketika hendak membeli emas, kita diharuskan untuk membayar tunai karena bertemunya 2 barang ribawi. Kitapun lantas memberikan cek sebagai ganti uang riyal. Apakah cek ini bisa menggantikan posisi uang secara syariat? Para ulama kontemporer berbeda pendapat.
Sebagian mereka berpendapat bahwa cek bisa menggantikan uang. Penggunaan cek untuk jual beli telah menjadi kebiasaan manusia zaman ini. Maka cek menggantikan dirham. Maka tatkala kita membeli emas dan kita menyerahkan cek, hukumnya boleh.
Pendapat sebagian yang lainnya adalah bahwa cek tidak dapat menggantikan dirham. Tatkala kita membeli emas atau perak atau pounds dengan riyal Saudi, tidak cukup dengan memberikan cek. Karena pemberian cek tidak dianggap sebagai pembayaran tunai. Alasannya yaitu apabila cek ini hilang atau terbakar apakah akan kembali kepada yang memberi cek atau tidak? jawabnya adalah kembali. Ini menunjukkan bahwa cek tidaklah tunai. Berbeda keadaannya apabila dalam posisi dirham. Jika kita mengambil emas dan kita beri 1000 riyal dan ternyata hilang atau terbakar riyal itu, apakah dianggap tunai? jawabnya iya. Apakah akan kembali kepada yang punya? jawabnya tidak. Adapun cek akan kembali. Ini menunjukkan cek tidak dianggap kontan.
Pendapat ketiga mengatakan hal ini perlu perincian. Jika ceknya asli maka boleh. Jika ceknya kosong maka tidak boleh. Karena cek asli senilai dengan harga yang tercantum. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih dekat kepada kebenaran. Allahu a’lam.
***
Sumber:
Situs Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih (http://www.almoshaiqeh.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar